Kamis, 22 Mei 2014

AKU BERBEDA



AKU BERBEDA
Dulu ada sepasang kekasih dari akar keluarga yang berbeda. Sang pria bernama Agus Surahman yang tamatan SLTP memacari seorang gadis nan cantik yang juga lulusan SLTP bernama Sa’anih. Pada tahun 1991 mereka memutuskan untuk mengikatan tali pernikahan. Sejak awal membina bahtera rumah tangga sang istri tidak mau tinggal dengan menyewa kontrakan, sang istri lebih memilih tinggal dirumah orangtua sang suami. Sang suami yang hanya berkerja sebagai supir bus di ibu kota memilih tidak mau terus-terusan merepotkan orangtuanya. Bermodalkan sepetak tanah pemberian Ayahnya, suami istri itu sedikit demi sedikit membangun istana mereka yang sederhana, dengan menyisihkan pendapatan dari menjadi supir bus dan sang istri yang bekerja di perusahaan menjahit.
Setahun membina rumah tangga mereka tidak dikaruniai seorang anak, bukan karena salah satu  dari mereka mandul namun karena sang istri yang usianya masih sangat muda enggan memiliki seorang anak. Namun mereka berdua harus mengangkat seorang bayi perempuan yang tidak lain adalah keponakan sang istri. Bayi tersebut harus kehilangan ibunya karena meninggal dunia, sejak itulah bayi itu menjadi bagian dari keluarga sederhananya. Bayi perempuan nan cantik dan mungil itu diberi nama Ina Surahman.
Empat tahun membina bahtera rumah tangga mereka masih tidak memiki anak kandung hasil pernikahan mereka. Akhirnya dengan desakan keluarga dan suami, sang istri berhenti untuk KB dan akhirnya mereka dikaruniai calon seorang bayi. Bulan demi bulan dilewati dengan normal, tanpa adanya keanehan-keanehan. Namun setelah 9 bulan mengandung calon bayi tak kunjung mempunyai tanda-tanda untuk keluar dari rahim ibunya. Dengan harap-harap cemas suami istri ini terus berdo’a untuk kelahiran anaknya yang disegerakan karena memang sudah waktunya. Namun Allah berkehendak lain, setelah sebelas bulan mengandung akhirnya sang bayi yang ditunggu-tunggu keluarga dan pasangan suami istri ini pun lahir dengan proses persalinan normal dan dibantu oleh dukun beranak dirumah. Seorang anak berjenis kelamin laki-laki ini akhirnya muncul dan menangis untuk pertama kali pada dini hari sebelum adzan subuh berkumandang. Anak yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang juga, berbeda dengan bayi normal lainnya yang hanya ada dalam kandungan sembilan bulan bayi laki-laki ini harus bertahan lebih lama selama sebelas bulan dalam kandungan ibunya. Kedua orang yang sedang berbahagia itu sangat senang karena anaknya terlahir normal tanpa cacat sedikit pun seperti apa yang orang-orang atau mitos katakan jika anak terlahir lebih lama akan mengalami cacat fisik atau mental.  Terlebih raut kebahagiaan sangat terlihat dari wajah sang ayah yang memang mengidam-idam kan anak laki-laki yang akan meneruskan tahta keluarganya.
Bulan pertama si bayi ini bernafas, tidak ada yang salah. Bayi yang diberi nama Firman Surahman ini baru mengalami keganjalan di usianya yang baru menginjak dua bulan. Leher si bayi mengalami kelumpuhan, tidak mampu bergerak dengan sendirinya, harus selalu ditopang dan diarahkan dengan bantal lembut oleh ibunya. Sang istri yang sudah menjadi ibu ini pun mengalami goncangan batin yang kuat, tak sampai hati melihat putera kebanggaannya harus hidup dengan cacat. Sambil menyusui si ibu mendekap dengan hangat anaknya dengan pelukan lembut dan terus berdo’a agar penderitaan anaknya cepat terselesaikan. Sang ibu hanya bisa menangis dan menangis jika melihat kondisi anaknya ketika menyusui dan memandikakn sang anak. Begitu pula sang ayah yang tak kuat membendung air matanya. Sepulang kerja sang suami yang sudah menjadi ayah ini harus menangis, bahkan ketika kerja pun selalu yang dipikirkan adalah kondisi sang jagoan yang berada dirumah.
Selama puteranya mengalami cacat sang ayah enggan untuk menggendong sang anak, jangan pun untuk menggendong melihat kondisi anaknya seperti itu sang ayah tak sanggup. “Entah dosa apa yang pernah saya perbuat sehingga anak hamba yang harus menanggung akibatnya” sang ayah selalu berkata demikian jika melihat kondisi anaknya. Namun keluarga yang berduka itupun harus sangat beruntung memiliki orangtua yang masih sangat peduli dan menyayangi mereka. Setiap pagi dan sore ibu dari sang ayah pun dengan rutin datang kerumah kecil yang dibangun suami istri tersebut. Dengan telaten dan sabar sang nenek menguruti leher cucunya yang malang itu. Sehingga selama tiga bulan berlalu sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Sang bayi laki-laki yang awalnya seperti tidak memiliki tulang leher akhirnya sedikit demi sedikit bisa menggerakan lehernya. Raut bahagia pun hadir dari kedua orangtua sang bayi, begitu pula keluarga besarnya yang sangat bahagia melihat perubahan yang terjadi. Namun setelah perubahan yang positif terjadi kembali muncul perubahan pada fisiknya. Kulitnya yang awalnya nampak putih biasa, kian bertambah usia si anak mengalami perubahan warna menjadi agak kecoklatan dan akhirnya menghitam.
Kian lama, bayi ini tumbuh besar. Disaat memasuki usia balita suami istri ini kembali terbelenggu akan kekhawatiran yang kini hadir dalam benak mereka. Anak mereka di usia lebih kurang 3 tahun masih belum dapat berjalan seperti balita normal pada umumnya. Kembali bayang-bayang mitos yang mengatakan jika seorang anak lahir tidak pada waktu yang pas akan mengalami cacat baik dari mental maupun fisik, mitos itulah yang dijadikan kekhawatiran yang sangat besar bagi sepasang suami istri ini. Dengan sabar melatih anaknya untuk belajar berjalan, anak ini juga mendapati dirinya sulit berbicara. Melihat puteranya yang sejak dalam kandungan hingga usia seperti itu suami istri ini khawatir kelak ketika dewasa anak mereka akan hidup dengan keterbelakangan fisik atau pun mental.
Namun ketika menginjak usia 4 tahun puteranya menunjukan perubahan yang signifikan. Anak pasangan suami istri ini sudah lebih fasih menghafal bacaan dasar al-qur’an, kemudian ketika diajarkan hitung menghitung anaknya sudah lebih cekatan dan pada usia 5 tahun anak yang sejak bayi ini mengalami keterlambatan mengalami perubahan besar, selain bisa membaca al-qur’an dan menghitung, putera dari sepasang suami istri yang sederhana ini, sudah mampu membaca dengan lancar. Ini semua membantah segala tudingan dari mitos-mitos yang banyak berkembang. Sang ayah dengan telaten terus mengajari puteranya belajar tanpa memasukannya ke sekolah Taman Kanak-Kanak.
Di usia 5 tahun juga puteranya sudah menunjukan keberanian dan tekad yang luar biasa. Di usia yang masih mungil dan sangat belia itu Firman sudah meminta dirinya untuk dikhitan, namun sang ayah enggan untuk menuruti kemauan anaknya, karena melihat usia sang anak yang masih sangat belia dan pernah memiliki banyak pengalaman buruk semasa bayi sehingga ayahnya tak mau mengambil resiko besar. Namun tekad si anak tidak sampai di situ, tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya si anak ini mendatangi dan mendaftarkan dirinya sebagai peserta khitan massal di masjid dekat kediamannya. Sontak membuat kedua orangtuanya kaget dan menjemput anaknya setelah mendapati berita tersebut.
Akhirnya pada usia 6 tahun setelah satu semester menjalani kehidupan di sekolah dasar keinginan Firman dapat dipenuhi kedua orangtuanya. Dengan iming-iming berhasil mampu masuk tiga besar rangking kelas maka kemauan bocah ini akan diujudkan. Acara khitanan yang cukup besar digelar kedua orangtuanya. Tak peduli berapa banyak uang yang harus dikeluarkan demi anak kebanggaannya yang terpenting acara hajatan yang menjadi acara pertama dan terakhir dalam hidupnya ini harus semeriah mungkin.
Di usia yang masih kanak-kanak tersebut kedua orangtua Firman menguatkan dan menanam mental ketabahan yang sangat luar biasa. Mendapati anaknya masih berbicara gagap dan kurang jelas kemudian memiliki warna kulit yang hitam kedua orangtua yang luar biasa ini terus mensupport anaknya agar tidak memiliki perasaan pendendam dan menjadi pria yang penyabar untuk selalu tersenyum dalam menghadapi kendala serta masalah dalam hidupnya.
Semua cerita yang aku ceritakan diatas baru saja aku ketahui setelah genap berusia 18 tahun pada 20 maret 2014 lalu. Tergugah hati dan perasaan setelah mendapati cerita yang memilukan ini dan mendapatkan kenyataan ternyata aku berbeda. Perjuangan masa kecil yang besar dan ketulusan kasih sayang kedua orangtua ku yang luar biasa menjadi kekuatan ku kini untuk menantang kehidupan. Aku berbeda, itu yang membuat ku yakin bahwa perbedaan itu yang membuatku bernafas kencang dan berjalan tegak untuk menuju jalan kesuksesan.
“Hidup itu adalah anugerah yang luar biasa, senyuman adalah hadiah yang mahal harganya dan perjuangan adalah sebuah proses dari hasil yang menakjubkan dalam kehidupan. Jangan menyerah, awal yang buruk adalah sebuah akhir dari suatu kunci keberhasilan” Firman Surahman.

RAKYAT, JABATAN atau HARTA ?



                                                RAKYAT, JABATAN atau HARTA ?
            Berbondong-bondong orang rebutan kursi caleg. Bagi setiap orang duduk di kursi anggota dewan adalah hal yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak ? Bisa mewakili rakyat dalam penyampaian aspirasi, sampai bisa juga menikmati kemewahan yang diberikan oleh pemerintah sebagai wakil dari rakyat. Kini pemilihan calon anggota legislatif sudah semakin dekat, April 2014 adalah waktu dimana masyarakat memilih perwakilannya untuk duduk menjadi anggota dewan. Ratusan orang mencalonkan diri, dari orang biasa saja, orang-orang terpelajar dengan segala lulusan sarjana sampai selebritis yang juga tidak mau kalah dalam perebutan kursi. Ratusan baliho yang sudah akan menjadi calon sampah tak berguna sudah banyak terpampang. Puluhan warna dan ribuan janji manis yang mereka berikan kepada masyarakat terlihat jelas. Banyak kata yang terlontar dari para calon anggota legislatif tersebut untuk bisa ikut berpartisipasi, dari yang meramaikan, panggilan hati sampai dukungan besar dari para tokoh daerah maupun tokoh partainya.
            Pada hakikatnya nanti rakyat pun harus memilih. Pilihan mereka beragam dari alasan karena orang terdekat, mendukung dan menyukai visi-misinya, percaya akan janjinya, bahkan sampai karena jumlah uang diberikan oleh calon anggota untuk memilihnya. Ironi memang ditengah-tengah bobroknya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, masih banyak oknum yang melakukan segala kecurangan hanya untuk mendapatkan kursi nyaman saja. Banyaknya masyarakat yang masih bodoh bukannya dituntun kearah yang benar, dari mereka yang tidak tahu menjadi tahu tapi malah dimanfaatkan.
            Ada peryataan konyol terlontar dari seorang siswa sekolah dasar yang notabennya belum mengerti betul tetang kepemerintahan,“Mengapa wakil rakyat lebih sejahtera daripada rakyat ? Sedangkan jabatan antara rakyat dengan wakil rakyat harusnya lebih tinggi rakyat ? Karena ketua kelas dengan wakil ketua kelas saja jabatannya lebih tinggi ketua kelas daripada wakil ketua kelas ?”. Secara tidak langsung siswa sekolah dasar itu mengkritisi bahwasanya kenapa seorang wakil rakyat bisa mendapatkan gaji tinggi, rumah yang nyaman dan terfasilitasi bahkan bisa plesiran keluar negeri sedangkan rakyatnya masih banyak yang menderita. Banyaknya jumlah rakyat yang pengangguran dan masih banyaknya rakyat yang tinggal digubuk dan kolong jembatan.
            Pantas saja kebanyakan masyarakat sudah tidak lagi mempercayai kinerja anggota DPR. Banyak sekali hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh anggota dewan tersebut, dari melakukan sejumlah studi banding keluar negeri  yang menghabiskan milyaran rupiah. Padahal uang itu bisa lebih berguna untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan. Lalu sering bolosnya anggota dewan dengan berbagai alasan sampai melanggar sumpahnya untuk tidak melakukan korupsi.
            Ada lagi permasalahan baru yang hadir dalam problema pemerintah saat ini. Kepentingan masyarakat tidak lagi diperdulikan yang ada hanya kepentingan partai. Faktanya menjelang pemilihan umum nanti partai politik sudah sibuk menggaet para kandidat anggota legislatif sampai para anggota dewan yang sedang duduk dalam keanggotaan. Sehingga tugasnya malah banyak yang terbengkalai karena sibuk akan urusan partainya. Membingungkan memang, wakil rakyat yang seharusnya memikirkan dan mengurusi kesejahteraan rakyat malah berpaling mengurusi dan mensejahterakan partainya.
            Pada suatu waktu ada seorang tukang becak pernah berkata dalam obrolannya dengan tukang becak lainnya yakni “Negara kita tidak akan pernah sejahtera masyarakatnya, karena pemerintah bukan lagi mengurusi kami wong cilik tapi sibuk merekrut dan menyejahterakan kepentingan kelompok (dalam hal ini partai)”. Itulah ungkapan rasa kecewa yang tak akan pernah sampai kekuping pemerintah apa lagi mereka sang pemangku jabatan yang berkuasa.
Sejumlah pertanyaan pun muncul untuk para calon anggota legislatif yang akan bertempur memperebutkan kursi kepemerintahan. Sebenernya apa yang mereka kejar ? Jabatan tinggi yang banyak orang idamkan ? Fasilitas mewah yang diberikan pemerintah ? atau kesejahteraan rakyat Indonesia yang masih sangat jauh dari kata layak ? Sulit menebak mana yang benar-benar mewakili rakyat.
            Jika masyarakatnya sudah tak lagi percaya bagaimana dengan pemimpinnya ? Kini tugas besar sudah tertumpuk dipundak generasi penerus bangsa yang benar-benar harus merubah rasa kecewa masyarakat dengan rasa kebanggaan masyarakat akan kinerja yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Memang sangat sulit untuk menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat tidak semudah membalikan telapak tangan.

JANGAN HANYA MENAMPUNG ASPIRASI, TAPI TUANGKAN DAN BERIKAN KAMI INSPIRASI KALIAN ADALAH WAKIL KAMI....

KOK ? MITMEN

KOK ? MITMEN

Dahulu kala ada sekumpulan pemuda yang berembuk dan duduk bersama. Banyak perbincangan untuk meluruskan kehidupan berbangsa. Para pemuda itu duduk sama rata dan berdiri sama tinggi. Dengan konsisten mereka berjanji dan bersumpah untuk Indonesia. Kumpulan pemuda itu merumuskan sebuah sumpah yang menjadi Sejarah luar biasa. Sumpah Pemuda biasa kita menyebutnya. Berpenggang teguh aspek kerja sama menjadi kunci eratnya genggaman untuk Indonesia Raya.

Kini ada sekumpulan mahasiswa yang sangat sulit untuk duduk bersama. Hanya mampu berbincang demi kehidupan pribadinya. Para mahasiswa itu duduk tidak sama-sama dan mereka berdiri semaunya. Mereka hanya mengucap janji tanpa sebuah bukti. Dari dulu hingga kini mereka tak pernah merumuskan sebuah Sejarah. Surat keputusan yang ada pun kini hanya sebatas sebutan saja. Tidak pernah berpenggang teguh pada aspek kekeluargaan yang menjadi kunci masa depan kehidupannya.

Ini bukan berbicara mengenai perbandingan, tapi ini berbicara mengenai perbedaan. Dahulu pemuda berikrar untuk berpegang teguh pada sebuah janji dan kesepakatan, tapi kini mahasiswa berikrar hanya untuk sebuah ucapan dan pemikiran. Terbukti kini sebuah komitmen tak lagi berlaku sebagai perjanjian yang sakral. Dari dua generasi berbeda terpampang nyata bahwa sebuah bukti hanya terucap palsu belaka.

Kasta komitmen seharusnya lebih tinggi dari janji. Janji hanya terpenuhi jika satu bukti telah dijalani. Tapi komitmen harus terus dijalani secara konsisten dan penuh tanggung jawab  dengan berbagai bukti. Tapi lihat mahasiswa sekarang tak pernah konsisten dengan apa yang terucap. Berlagak seperti jagoan dari belahan masyarakat, tapi jika sudah diatas mereka lupa dengan apa yang pernah mereka sirat.

Kok ? Mitmen. Ini menjadi kalimat pembeda. Dahulu dan sekarang memang tak akan pernah sama tapi semangat perjuangan “harusnya” tetap ada. Andai mahasiswa bisa konsisten dengan apa yang dia kerjakan, andai mahasiswa bisa konsisten dengan apa yang dia amanahkan dan andai mahasiswa bisa konsisten dengan apa yang dia ucapkan. Maka negara ini akan konsisten dengan apa yang dia lakukan untuk pemuda sebagai generasi penerus bangsa.

Jangan berikrar jika itu sukar dan jangan berjanji jika sulit dipenuhi. Berbuat selalu untuk sebuah bukti, dan bukti untuk berkomitmen memang benar harus selalu konsisten ditegakkan.

Bego Is Me



B“EGO”IS ME

Ada seorang pemuda yang yang aktif. Ia tergabung dalam suatu organisasi ruang lingkup mahasiswa. Pemuda ini sangat cakap dalam berbicara, memiliki gagasan dan ide yang luar biasa serta memiliki jiwa kepemimpinan yang lumayan. Hampir semua potensi ia miliki. Namun sayang sungguh disayang, dibalik potensi atau kelebihannya terselip kelemahan yang menghancurkan semua potensi yang ada. Pemuda ini memiliki rasa egois yang berlebihan. Karena memiliki semua potensi yang membanggakan ia selalu merasa bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, ia merasa bisa mengatur suatu acara tanpa bantuan orang-orang diluar kepentingannya. Padahal konsep manusia sebagai makhluk sosial tak lepas dari saling ketergantungan dengan orang lain.

Acap kali semua keinginan harus terpenuhi. Semua rencana harus terjajaki dan semua mimpi harus tercapai. Tapi tidak sendiri, harus ada penggerak-penggerak lainnya yang menopang kemampuan kita. Itu yang tidak si pemuda miliki. Ia tak pernah percaya dengan orang lain, namun ketika konsep dan rancangannya kurang berhasil keselahan dilontarkan dengan seenak dengkulnya kepada orang-orang yang menurutnya tak mau membantu. Apakah etis, orang lain membantu tapi tak tahu apa yang akan ia bantu ? Apakah pantas orang lain yang membutuhkan untuk membantu padahal jelas-jelas kita yang sangat membutuhkan untuk dibantu ?

Teka-teki kemudian muncul. Bagaimana kita mengukur jiwa kepemimpinan dengan egois dan kecerdasan ? Apakah egois dan kecerdasan memiliki kesetaraan yang sama ? Apakah  pemimpin harus cerdas tanpa memiliki rasa egois atau memiliki rasa egois tapi tak perlu cerdas ? Pertanyaan itu sangat sukar untuk dijelaskan, karena seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab untuk memanfaatkan kecerdasannya dan menguasai keegoisan hatinya.

Akhirnya si pemuda mendapatkan kendala. Dalam sebuah pertemuan si pemuda mengungkapkan keluh kesahnya, namun sayang si pemuda mengatakan bahwa semua pengurus yang tergabung tak ada yang memperdulikan gagasannya. Semuanya dianggap egois oleh si pemuda. Bukan dukungan, penyemangat atau masukan yang didapat melainkan cacian dan tekanan-tekanan  kepada si pemuda. Karena dalam perjalanannya si pemuda hanya bekerja sendirian, tanpa meminta bantuan malah yang si pemuda inginkan orang-orang berbondong-bondong datang untuk membantunya tanpa dipinta. Semua pengurus semakin tak terima dengan lontaran-lontaran yang diucapkan si pemuda. Maka semua pengurus langsung memberikan argumentasi yang melawan dan pemuda itupun tersudut, tapi entah kenapa si pemuda tetap mempertahan argumentasinya bahwa para pengurus lain yang egois bukan sebaliknya.

Egois memang sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Seperti saat memutuskan sesuatu secara cepat, tak pelu menunggu untuk rapat bersama atau meminta konsultasi. Tapi jika egois dalam berorganisasi salah dalam penempatan maka para bawahan yang dipimpin secara otomatis tak akan lagi percaya dengan semua keputusannya. Jika salah mengambil sebuah keputusan dan menjalankan pekerjaan karena egoisme yang tinggi maka banyak orang menganggap bahwa orang tersebut BEGO, tidak becus, sombong, muka tembok, sok ngatur tapi tak mau diatur, salah tak mau disalahkan, sok benar, sok mau didengar dan lain-lain sebagainya.

Bego is me, secara tidak langsung menjadi satu kesatuan yang harus diterima dari seseorang yang lebih mementingkan keinginan hatinya. Kepentingan keluarga adalah segalanya dan meninggalkan kepentingan organisasi itu adalah bego is me, mementingkan kepentingan pribadi daripada rapat kerja bersama rekan-rekan organisasi itu adalah bego is me. Dan semua keegoisan yang mungkin sering kita alami.

Kita tak hidup sendirian. Hargai tanggung jawab pribadi dan bersama. Semua memiliki urusan dan kepentingan yang berbeda, semua memiliki ide dan gagasan yang tak pernah sama. Menghargai lebih baik daripada meminta-minta untuk dihargai.

EGOISME ADALAH SIFAT ALAMIAH MANUSIA, NAMUN BEGO IS ME ADALAH PENGAKUAN DARI SIFAT EGOIS MANUSIA YANG BERLEBIHAN.

Kecewa Lagi



KECEWA LAGI
Sore itu seperti menyambut. Angin yang tertiup, suasana yang asri dan perbincangan yang hangat menyelimuti sore kami di tugu kebanggaan Universitas Negeri Jakarta. Senja itu kami pengurus organisasi mahasiswa merencanakan sebuah rapat evaluasi. Rapat ini bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan yang sudah dijalani sebelumnya. Acara ini adalah acara terbesar yang dijalani oleh organisasi kami.

Saat matahari mulai memulangkan diri tergantikan bulan. Kami memulai rapat dengan khidmat. Rapat kami dibuka dengan sambutan dan informasi dari organisasi yang memiliki level satu tingkat diatas kami. Bisingnya suara sound tak kami hiraukan, meski rapat evaluasi kami diadakan tepat bersebelahan dengan acara yang diadakan organisasi mahasiswa lainnya.

Sekitar 15 menit informasi yang disampaikan pun usai. Akhirya mulai lah ke acara yang dinanti yakni rapat evaluasi terkait kegiatan yang sudah kami lakukan dua hari sebelumnya. Kami pun memulai laporan-laporan dari tiap-tiap koordinasi. Dari HPD atau seksi dokumentasi, kemudian konsumsi, perlengkapan, hiburan, dan terakhir tempat ku bekerja pada kegiatan itu yakni seksi acara.

Aku adalah bagian dari seksi acara, kebetulan untuk seksi acara dipimpin oleh salah satu senior ku. Semua koordinator dan staff perseksi sudah menyampaikan unek-unek dan keluh kesah selama acara itu berlangsung. Akhirnya ketika seksi acara menyampaikan laporannya ku memberanikan untuk berkeluh kesah. Keluh kesah yang ku sampaikan terkait dengan job desc, karena selama kegiatan berlangsung aku gak tahu harus bekerja seperti apa ? Aku gak tahu harus melakukan apa ? Karena dari semua staff hanya aku yang enggak jelas kerjaannya. Akhirnya setelah semua keluh kesah ku tersampaikan mulai banyak pendapat, semuanya  hampir kontra dengan apa yang aku sampaikan. Dan aku pun memilih untuk tidak banyak bicara dan mengintropeksi diri untuk jauh lebih baik.

Namun ketika semua seksi sudah mengungkapkan isi hatinya. Giliran bagian sentral yakni keuangan berbicara. Yang berbicara adalah sahabat ku, yang sangat dekat amat dekat karena hampir setiap hari kuliah aku selalu bersamanya.

Setelah melaporkan semua pemasukan dan pengeluaran ia juga memiliki kesempatan untuk berbicara mengeluarkan unek-unek dan isi hatinya. Tapi yang membuat ku terkejut adalah sasaran unek-uneknya adalah aku, ia mengomentari apa yang aku katakan tadi. Sambil menangis ia mengucapkan isi hati dan kekesalannya, karena enggak kuat jadi disampaikan oleh ketua pelaksana.

Seketika aku diam, apa yang diucapkannya membuatku termangu. Kenapa harus dia ? Apa salah ku padanya ? Mungkin maksudnya baik untuk mengoreksi ucapanku dan membuat ku menjadi pribadi yang lebih baik, tapi apakah harus dengan cara seperti itu ? Aku bingung benar-benar bingung. Sebaris kalimat yang tersirat darinya membuat ku kecewa. Ini sudah kali ketiga aku harus mengalami pengkhianatan. Bukan orang lain, tapi sahabat ku sendiri.

Apa ini cara Tuhan untuk membuatku sadar dan mengerti kalau aku adalah pria terbodoh di dunia ? Apa ini cara Tuhan untuk mengajarkan ku betapa tololnya diri karena kesombongan ego ? Apa ini cara Tuhan untuk membuka mata ku, dan memberi tahu bahwa semua manusia adalah musuh tapi sahabat terbaik hanya diri-Nya ? Entah apa yang Tuhan maksud, entah apa yang sahabat ku maksud. Yang jelas aku kecewa LAGI...